Foto: Dhany Indrianto; Penulis: Yoseptin Pratiwi
Kekayaan produk lokal Indonesia memiliki kekuatan besar untuk menarik wisatawan. Namun, Indonesia pun serius membawa
makanan Indonesia ke dunia.
Spice, bumbu adalah berkah luar biasa –yang juga pernah membawa sejarah kelam penjajahan di Nusantara – bagi Indonesia. Karena, negeri ini memiliki kekayaan produk lokal. Negeri dengan kekayaan gastronomi yang sulit disamakan oleh negara-negara lain. Karena itu, sudah tiba saatnya bagi Indonesia lewat branding yang tepat mampu membawa dan menjual gastronomi Indonesia ke dunia.
Inilah yang dibahas dalam sesi kedua pada Kamis (31/8/2018) di
Jakarta Eat Festival 2018 yang berlangsung di Gandaria City, Jakarta. Diinisiasi oleh
Femina Group, yang secara konsisten fokus mengembangkan makanan Indonesia sejak berdirinya Majalah Femina pada tahun 1973, festival ini diadakan untuk mengapresiasi kekayaan kuliner Indonesia yang berlangsung pada 30 Agustus hingga 2 September 2018.
“Pemerintah melalui Kementrian Pariwisata (Kemenpar) mengembangkan wisata lokal, terutama kuliner dan belanja. Mengapa? Karena, Indonesia punya kekayaan
resep tradisional, 5.300-an dari berbagai daerah. Banyak sekali makanan yang mungkin belum populer. Kedua, sudah ada destinasi yang sudah dinilai Kemenpar yang bisa menjadi destinasi kuliner dan belanja. Di sisi lain, 30-40 persen pengeluaran orang bepergian adalah untuk kuliner dan belanja,” ujar Vita Datau, dari Kemenpar yang menjadi mitra Jakarta Eat Festival 2018 di sesi ini.
Dengan latar belakang tersebut, Vita juga menjelaskan bahwa pada tahun 2017, data menunjukkan revenue dari kuliner dan belanja mencapai Rp54,6 trilyun. “Angka ini sebesar 42 persen dari total revenue ekonomi kreatif,” imbuh Vita.
Namun, dengan variasi kekayaan lokal yang begitu besar, memang perlu branding yang tepat. Karena jelas tidak mungkin memarketingkan semuanya karena dari sisi marketing tentu tidak efektif.
Gupta Sitorus, praktisi branding kuliner dan anggota Akademi Gastronomi Indonesia mengatakan, saat ini kuliner memang sangat menarik perhatian dunia. “Hal ini tak lain karena disebabkan oleh perubahan demografi yaitu didominasi milenial. Pada tahun 2020, 80 persen penduduk dunia akan diisi milenial, generasi yang paling obsesif akan makanan,” kata Gupta.
Generasi milenial adalah generasi foodist. Ini membuktikan kuliner menjadi penggerak ekonomi, dan milenial mampu mencetak sejarah baru di dunia. “Data menunjukkan ternyata konsumsi alkohol di dunia menurun karena milenial. Karena sejak ada sosial media, milenial tidak mau ketahuan mabuk dan ada yang posting di sosial media karena bisa habis reputasi mereka,” kata Gupta. Karena itu, fokus kepada milenial harus menjadi strategi bagi para pemilik bisnis kuliner.
(P)
Baca juga:
Pembukaan Jakarta Eat Festival dan Misi Mengangkat Kuliner Indonesia